Sabtu, 18 April 2020

Arwah Berdendam

 

DENDAM SANG ARWAH

“TOLONG LILI… MAAFKAN AKU. JANGAN BUNUH AKU. TIDAAAAKKKKK….!!!!!!”
Tiba-tiba Herman terbangun dari tidurnya. Tubuhnya basah bermandikan keringat, dadanya naik-turun, nafasnya tersenggal. Untuk kesekian kalinya dia bermimpi hal yang sama. Ya… Herman selalu bermimpi hendak dibunuh oleh seorang wanita. Entah siapa, yang jelas dia adalah seseorang yang dikenalnya sebagai Lili. Setidaknya nama itulah yang selalu disebutnya dalam mimpi dengan ekspresi ketakutan. Sepertinya Herman mempunyai sebuah rahasia, rahasia besar yang selama beberapa hari ini dia sembunyikan rapat-rapat dan membuat hidupnya tidak tenang.
* * *
“Kamu kenapa sayank? Akhir-akhir ini kok sering bengong?” tanya Dina yang sedikit aneh melihat perubahan sikap pacarnya itu.
“Ah tidak. Aku Cuma kecapean saja kok, sayank. Oh ya.. bagaimana kabar adik kamu? sudah ketemu?” tanya Herman kemudian.
“Belum. Aku tak tau harus mencarinya kemana lagi, sayank. Aku khawatir, takut terjadi sesuatu sama dia” jawab Dina penuh kekhawatiran. Lima hari sudah adiknya yang bernama Dewi hilang entah kemana. Kepergiannya bagai di telan bumi, tak ada satupun dari temannya yang menengetahui keberadaan adiknya itu.
“Sudah sayank, jangan bersedih ya. Kita cari dia terus, mudah-mudahan Dewi secepatnya kita temukan” hibur Herman sambil membelai rambut Dina.
“iya.. Terimakasih sayank” jawab Dina, tersenyum. Dalam hatinya dia bersyukur karena mempunyai pacar seperti Herman. Selain baik, Herman juga sangat perhatian. Dialah yang selama ini selalu menemaninya mencari Dewi, adik semata wayangnya yang entah dimana dan bagaimana keadaanya saat ini.
* * *
TENG TENG TENG TENG TENG TENG TENG TENG TENG TENG TENG TENG
Suara jam di kamar Herman berbunyi dua belas kali. Menandakan waktu telah menunjukkan tepat jam 12 malam. Herman masih terjaga. Tak sedetikpun kedua matanya dapat dipejamkan. Kini tidur menjadi ketakutan tersendiri baginya. Dia takut mimpi itu akan terulang lagi, mimpi yang sama seperti pada malam-malam sebelumnya.
KREKEEETTTT……..
Tanpa sebab pintu kamar Herman terbuka dengan sendirinya. Herman tersentak. Segera dia menarik selimut yang berada di sampingnya dan membenamkan kepalanya disana. Suasana hening. Pelan-pelan dia memperhatikan ruangan kamarnya yang gelap gulita. Hatinya sedikit tenang ketika tak ditemukannya hal ganjil disana. Namun tiba-tiba saja dia merasakan udara disekitarnya terasa panas.
Kini sudut mata Herman menangkap ada seseorang duduk di sampingnya. Seorang wanita. Nafas Herman mulai memburu. Diliriknya wanita itu dengan keringat dingin yang mulai mengucur di setiap pori-pori kulitnya. Wanita itu tertunduk, rambutnya yang panjang terurai membuat Herman tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dengan gemetar tangan Herman mencoba menyentuh pundaknya. Dia ingin melihat siapa sebenarnya wanita itu. Tapi sebelum tangan Herman menjangkaunya, wanita itu menoleh.
“HAAAHHH!!! Li…. Li…. Liliiiii…………????????”
Mata Herman terbelalak. Apa yang dilihatnya hampir asaja membuat jantungnya copot. Kini sosok hantu yang selama ini kerap muncul di mimpinya, benar-benar menjelma di alam nyata. Dan sosok yang disebutnya sebagai Lili tampak begitu mengerikan. Separuh wajahnya membusuk, dengan lumuran darah di sekujur tubuhnya. Wanita itu dengan tajam menatap Herman. Ada api dendam dan kebencian yang terpancar dalam sorotan matanya. Herman lantas beringsut dari tempat duduknya, menjauhi sosok itu dengan penuh ketakutan. Namun sosok itu malah mendekatinya. Tangannya yang berkuku hitam dan panjang direntangkan, seolah-olah dia hendak mencekiknya.
“Ja… jangan. To… tolong ampuni a… aku Li… Lili.”
“Ja… jangan bunuh a… akuuuu……!!!!!!”
Teriak Herman begitu dirasakannya jari-jari kaku itu telah mencengkram lehernya. Tapi sosok itu samasekali tak menghiraukan ucapannya. Tanpa ampun sosok itu terus mencekik Herman dengan kuat.
“KAMU PANTAS MATI!!!” ucapnya singkat.
KRIIIIINNNGG……
Tiba-tiba saja HP Herman berdering. Dan bersamaan dengan itu hilang pula sosok wanita itu dari hadapannya. Herman terbatuk-batuk, merasakan sesak akibat cekikan wanita itu. Namun dia sangat bersyukur, karena bisa lolos dari cengkraman sosok hantu yang bernama Lili. Segera diangkatnya telepon yang ternyata dari Dina.
“Hallo sayank… kamu belum tidur?” tanya Dina di sebrang telepon sana. Suaranya terisak.
”Belum sayank… ada apa? Kok sepertinya kamu menangis?” tanya Herman heran.
“Aku bermimpi sayank. Aku bermimpi kalau Dewi… sudah meninggal. Dan dia berkata bahwa seseorang telah membunuhnya” jawab Dina kemudian. Tangisnya kini pecah.
“A… Apa? Dewi meninggal? Terus dia berkata apa tentang pembunuhnya?” tanya Herman kembali dengan nada cemas.
“Dia tak sempat memberitauku siapa pembunuhnya, hanya saja dalam mimpiku dia memberikan aku sebuah cincin. Di cincin itu tertulis “A & L”. Entah inisial siapa itu. Anehnya begitu aku terbangun, cincin itu benar-benar ada dalam genggamanku” jelas Dina panjang lebar.
Herman tak segera menjawab. Dia seperti memikirkan sesuatu sejenak.
“Ya sudah, kita bicarakan ini besok saja. Sekarang kamu tidur dulu, sudah malam” timpal Herman selanjutnya.
“Iya.. besok setelah magrib aku ke rumah kamu sayank. Karena paginya aku harus kuliah sampai sore.” Dina mengakhiri pembicaraannya.
Begitu telepon tertutup, Herman bergegas mengambil sesuatu dari meja kerjanya untuk kemudian dia bakar dan membuangnya. Entah apa...
* * *
Malam itu seperti yang telah dijanjikan semalam, Dina mengunjungi rumah Herman.
Berhubung Herman sedang mandi, Dina pun menunggunya di kamar. Sambil menunggu, iseng Dina melihat-lihat tumpukan buku di meja kerja Herman. Disana terdapat sebuah diary, Dina lantas membukanya.
Halaman pertama, Tanggal 11 November 2011:
Aku bertemu dengan seorang wanita cantik di kampusku, namanya Dina. Dia baik, pintar dan dewasa. Dia cukup membuatku jatuh cinta. Beberapa minggu setelahnya, kami pun berpacaran.
Dina tersenyum, dia tak menyangka jika Herman hingga menulisnya dalam sebuah diary. Dengan perasaan bahagia, Dinapun membuka lembar ke-dua.
Tanggal 15 Desember 2011:
Seorang teman mengenalkan aku dengan seseorang wanita. Jujur dia lebih cantik dari Dina. Karena kecantikannya yang seperti bunga lili, aku lantas memanggilnya Lili. Kemudian aku pun memacarinya walau sudah berpacaran dengan Dina.
DEG! Dina terkejut demikian hebatnya. Ada sesuatu yang bergulir di mata Dina saat selesai membaca tulisan itu, air matanya meleleh di pipinya yang merona. Rasa sakit seketika menusuk hatinya yang terdalam. Dina tak menyangka, bahwa ternyata Herman telah menduakan cintanya dengan wanita lain, padahal selama ini Herman begitu baik. Tak satupun hal ganjil yang terlihat pada tingkah laku kekasihnya itu, hingga Dina menganggap bahwa laki-laki yang sudah di pacarinya selama satu tahun tersebut tetap setia kepadanya. Dengan air mata yang terus berlinang dan perasaan tak menentu, Dina masih berusaha untuk menelusuri lembaran itu.
Tanggal 5 Januari 2012:
Aku tak bisa memilih diantara Dina ataupun Lili. Namun hal yang membuatku bingung adalah, aku baru mengetahui bahwa Dina dan Lili itu ternyata kakak-beradik.
Mata Dina terbelalak demi membaca kalimat itu. Untuk beberapa detik dia tertegun. Ada hal yang tak dimengerti olehnya. Apa maksud kalimat itu???
PLUK! Tiba-tiba saja selembar foto terjatuh dari dalam diary itu, Dina pun mengambilnya. Di belakangnya tertulis “A & L”, inisial yang sama seperti pada cincin yang diberikan Dewi dalam mimpinya semalam. Perlahan Dina membalikan foto itu…
YA TUHAN…!! Tidak mungkin… bagaimana ini bisa terjadi? Dina terpekik begitu melihat foto tersebut. Air matanya yang tadi sempat terhenti kini mengalir deras tanpa mampu dibendungnya lagi, tangannya bergetar memegangi foto itu. Disana jelas terlihat, Herman tengah memeluk seorang wanita, dan itu bukan dirinya, melainkan... Dewi! Rupanya wanita yang dipanggil Herman sebagai Lili adalah adiknya, Dewi. Dan inisial A & L yang terukir di foto serta cincin itu pastilah dari nama “Adi Hermanto & Lili”. Dina tak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Rasa sakit yang kali ini dirasakannya benar-benar membuatnya tak mampu berdiri lagi. Tubuh Dina ambruk, terduduk dengan tetap memegangi foto serta diary tersebut. Rasa sakit itu bukan saja karena Herman telah menghianatinya, tapi lebih dari itu, ternyata wanita yang jadi selingkuhannya adalah adik kandungnya sendiri. Adik yang selama hampir seminggu ini hilang entah kemana. Kini Dina yakin bahwa Herman mengetahui keberadaan Dewi. Atau mungkin… Dewi memang sudah meninggal seperti dalam mimpinya semalam, dan Hermanlah pembunuhnya! Dina menganggap bahwa kejadian itu bukanlah kesalahan Dewi, tetapi karena laki-laki biadab itu yang berusaha menjerat hati Dewi yang masih polos. Ternyata laki-laki yang dianggapnya baik selama ini pada kenyataanya adalah orang yang sangat jahat. Dia berpura-pura baik dan ikut mencari Dewi hanya karena ingin menutupi kebusukkannya! Betapa menyesalnya Dina karena telah mengenal laki-laki bajingan itu.
Di saat itulah Dina lalu teringat tentang cincin yang diberikan adiknya semalam. Secepatnya dia mencari cincin lain yang serupa. Dina yakin bahwa cicin itu ada dua, yang satu pada Dewi, dan satunya lagi pada Herman. Itu akan menjadi bukti yang cukup untuk menyeret laki-laki bejat tersebut ke dalam jeruji penjara. Tapi di meja itu Dina tak menemukan apa-apa, hingga ketika dia membuka laci, dia menemukan cincin itu di sana.
“Apa yang kamu cari sayank?” suara Herman tiba-tiba mengejutkannya. Melihat kedatangan Herman, dengan perasaan benci yang sudah tak terbendung Dina menghampirinya. Dan… PLAAKK!!! Tanpa berkata sepatah katapun Dina langsung menampar pipi Herman dengan sangat keras. Membuat pipi Herman memerah dan mengeluarkan sedikit darah dari sudut bibirnya. Herman terkesima menerima tamparan itu.
“Apa yang kamu lakukan sayank? Kenapa kamu tiba-tiba menamparku? Apa salahku?” tanya Herman tak mengerti. Dia berusaha mengusap darah yang mulai menetes di bibirnya.
“Salah apa??? Kamu bilang salah apa??? Ini… Apa ini??? Dan ini…!!! ternyata selama ini kamu menghianatiku, dengan adik kandungku sendiri! Kamu pura-pura membantuku mencari Dewi, padahal kamu sendiri yang membunuhnya. Iya kan??? Dasar penipu!!!“ ucap dina sambil melemparkan diary dan cincin itu ke wajah Herman. Tak secuilpun kini rasa cinta tersisa di hatinya terhadap laki-laki berhati busuk itu.
Herman begitu terkejut melihat cincin dan diary tersebut. Dia tak mengerti, bukankah semalam dia telah membakar diary itu dan membuang cincinnya? Lalu kenapa kedua benda itu bisa muncul lagi? Batin Herman bertanya-tanya. Kini dia tak dapat berbuat apa-apa lagi, karena semua bukti itu telah benar-benar menyudutkannya.
“Ya… memang aku yang membunuh Dewi! Memangnya kenapa? Apa kamu mau menuntut balas adikmu, Hah!!?? hahahaha…..” Ucap Herman sambil tertawa terbahak-bahak. Kini dia lebih terlihat seperti iblis yang merasuki manusia.
“Breng*eekkk….!!! Dasar kau kepa*aattt….!!! Kenapa kamu tega membunuh adikku??? Dimana kamu membuang mayatnya???” Teriak Dina sambil mencoba mengambil gunting yang ada di laci meja. Rasa dendam, benci dan jijik kini telah membuatnya gelap mata.
“Kamu mau tau??? Hahaha…. Adikmu itu hamil, dan dia minta pertanggung jawabanku. Aku tak mau, tapi adikmu yang keras kepala itu tetap memaksaku. Dia mengancam akan melaporkanku pada polisi kalau tak mau mau menikahinya. Lalu.. ku bunuh saja dia, dan mayatnya ku buang di sumur tua dekat hutan itu!!!” jelas Herman dengan entengnya. Tak ada sedikitpun rasa penyesalan terlihat di wajahnya. Kemudian dengan cepat dia menarik tangan Dina dan menyergapnya. Dina melawan dengan mencoba menancapkan gunting yang telah digenggamnya ke tubuh Herman, tapi rupanya manusia setengah iblis itu lebih kuat dan berhasil membuang gunting tersebut ke lantai. Kini posisi leher Dina ada diantara dada dan lengan kekar laki-laki psikopat itu.
“Mau tau bagaimana aku membunuh adikmu??? Seperti inilah aku membunuh adikmu” Herman berkata sambil membuka ikat pinggangnya lalu membelitkannya ke leher Dina. Sontak hal itu membuat Dina gelagapan, dia tak bisa benafas. Tangannya menggapai-gapai dan berusaha membuka cekikan itu, tapi si iblis Herman malah memperkuat belitannya.
Di saat itulah, tiba-tiba… SYUUUTT…. SYUUUTT…. kursi yang ada di kamar tersebut melayang-layang di udara hingga akhirnya menyambar kepala Herman. Hermanpun tersungkur. Dina yang terlepas dari cekikan Herman segera menepi ke sudut kamar. Dia pun tak tau apa yang terjadi.
WUUUSSHH… entah dari mana asalnya pusaran angin tiba-tiba bertiup di ruangan itu dan menerbangkan segala isi didalamnya. Herman dan Dina pun terkejut. Mereka berdua berpegangan erat pada apapun benda yang berdiri kokoh didekat mereka. Tapi itu tak berlangsung lama, karena bersamaan dengan hilangnya angin tersebut, terlihatlah sosok hantu mengerikan yang selama ini selalu menterror Herman.
“Li….. Lili……????” ucap Herman dengan ketakutan. Tubuhnya gemetar, Keringat dinginnya mulai bercucuran, saat hantu itu mulai mendekatinya.
“A… a… ampuuunnnn….. Lili. Ja… jangan bunuh a… aku!!” mohonnya pada sosok mengerikan itu sambil kakinya mundur perlahan-lahan. Tapi permohonan itu sama sekali tak gubrisnya.
SYUUUTT…. JLEDAGG!! SYUUUTT…. JLEDAGG!! Kali ini giliran tubuh Herman yang melayang-layang di udara. Kemudian tubuhnya menghantam dinding-dinding tembok, hingga akhirnya dia terjerembab di lantai. Tubuhnya penuh luka, dengan cucuran darah disana-sini. Dia pun terhuyung. Dengan sisa tenaganya Herman mencoba bangkit, tapi begitu hendak berdiri, sosok itu menarik kaki Herman dan menyeretnya dengan bringas. Herman meronta-ronta. Dan ketika dia membalikkan tubunhya terlentang, tiba-tiba…
JLEEEPPP!! ! gunting yang tadi berada di lantai terbang dan menancap tepat di jantung Herman. Namun bukan hanya sekali, tapi berkali-kali gunting itu menyayat tubuh Herman, hingga membuatnya menggelepar bersimbah darah segar. Herman pun kini tak bernyawa lagi. Dia mati di tangan Lili, wanita yang telah di bunuhnya beberapa waktu lalu dengan keji. Ya… Herman telah membayar kejahatannya, dengan nyawanya sendiri!!
Setelah kejadian itu Dina beserta keluarganya segera mengangkat jasad Dewi yang dibuang ke sumur tua, seperti penuturan Herman. Saat ditemukan, mayat Dewi sudah membusuk dengan bekas lilitan di lehernya. Mereka lantas menyempurnakan jasad Dewi dengan menguburkannya sebagaimana mestinya.
* * *
 



Sumber